Khamis, 25 Julai 2013

1091. Kesempatan untuk bertaubat.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  , الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ , الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ,  مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ , إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ , اهْدِنَا الصِّرَاطَ المُسْتَقِيمَ  , صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ , غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ.

Assalamualaikum w.b.t/السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
. 006. Nota Buat Pengunjung Blog..


Status Update. Pendidikan Agama Islam. Ramadhan: KESEMPATAN UNTUK BERTAUBAT. (bagikan sebelum baca, agar manfaat semakin banyak)

Kita sudah ketahui bahwa bulan Ramadhan penuh dengan berbagai kebaikan. Pada bulan tersebut kita diperintahkan untuk saling berlomba dalam kebaikan. Begitu pula bulan Ramadhan adalah kesempatan kembali untuk taat pada Allah. Kembali pada Allah yang dimaksud di sini adalah dengan bertaubat.

Taubat Wajib dan Taubat Sunnah

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa taubat itu ada dua macam, ada yang wajib dan ada yang sunnah.

Taubat yang wajib adalah taubat karena meninggalkan suatu perintah atau melakukan suatu larangan. Taubat yang wajib di sini dibebankan bagi seluruh mukallaf (yang telah dibebani syariat) sebagaimana yang Allah perintahkan dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sedangkan taubat yang sunnah adalah taubat karena meninggalkan perkara yang sunnah dan melakukan yang makruh.

Barangsiapa yang hanya mencukupkan diri dengan taubat pertama (yang wajib), maka dia merupakan bagian dari golongan pertengahan, disebut al abror al muqtashidin.
Barangsiapa yang melakukan dua taubat di atas sekaligus, maka ia termasuk golongan terdepan, disebut as saabiqin al muqorribin. (Lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 40).

Taubatan Nashuha

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)

Dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa makna taubat yang tulus (taubatan nashuhah) sebagaimana kata para ulama adalah, “Menghindari dosa untuk saat ini. Menyesali dosa yang telah lalu. Bertekad tidak melakukannya lagi di masa akan datang. Lalu jika dosa tersebut berkaitan dengan hak sesama manusia, maka ia harus menyelesaikannya/ mengembalikannya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 323).

Setiap Dosa Bisa Diampuni

Setiap dosa –baik dosa kecil, dosa besar, dosa syirik bahkan dosa kekufuran- bisa diampuni selama seseorang bertaubat sebelum datangnya kematian walaupun dosa itu sepenuh bumi. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az Zumar: 53).

Ayat di atas adalah seruan untuk segenap orang yang terjerumus dalam maksiat, baik dalam dosa kekafiran dan dosa lainnya untuk bertaubat dan kembali pada Allah. Ayat tersebut memberikan kabar gembira bahwa Allah mengampuni setiap dosa bagi siapa saja yang bertaubat dan kembali pada-Nya. Walaupun dosa tersebut amat banyak, meski bagai buih di lautan (yang tak mungkin terhitung). Sedangkan ayat yang menerangkan bahwa Allah tidaklah mengampuni dosa syirik, itu maksudnya adalah bagi yang tidak mau bertaubat dan dibawa mati. Artinya jika orang yang berbuat syirik bertaubat, maka ia pun diampuni. Lihat keterangan Ibnu Katsir mengenai ayat di atas dalam kitab tafsir beliau.

Dalam ayat lain disebutkan,

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ

“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya?” (QS. At Taubah: 104).

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’: 110).

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا (145) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا (146)

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS. An Nisa’: 145-146).

Kepada orang Nashrani yang menyatakan ideologi trinitas, masih Allah seru untuk bertaubat. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al Maidah: 73).

Kemudian setelah itu, Allah Ta’ala berfirman,

أَفَلا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah: 74). Walau mereka -Nashrani- berkata keji dengan mengatakan bahwa Allah adalah bagian dari yang tiga, namun Allah masih memiliki belas kasih dengan menyeru mereka untuk bertaubat jika mereka mau.

Lihatlah orang yang telah membunuh wali Allah, juga diseru untuk bertaubat jika mereka ingin,

إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ

“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar.” (QS. Al Buruj: 10). Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Lihatlah pada orang-orang yang merasa mewah tersebut, mereka telah membunuh wali-wali Allah dan Allah masih menyeru mereka untuk bertaubat.”

Ayat semisal di atas teramat banyak yang juga menerangkan tentang hal yang sama bahwa setiap dosa bisa diampuni bagi yang mau bertaubat. Lihatlah sampai dosa kekafiran pun bisa Allah ampuni jika kita benar-benar bertaubat, apalagi dosa di bawah itu. Sehingga tidak boleh seorang hamba berputus asa dari rahmat Allah walau begitu banyak dosanya. Karena ingatlah saudaraku bahwa pintu taubat dan rahmat Allah begitu luas.

Kembalinya Kebaikan Setelah Taubat

Jika dahulu seorang hamba memiliki kebaikan, lalu ia beramal kejelekan yang dapat menutupi kebaikannya, kemudian setelah itu ia taubat lagi, bagaimana kebaikannya dahulu? Jika ia bertaubat yang tulus, maka kebaikannya di masa silam bisa kembali.

Dari Hakim bin Hizam, ia berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ صِلَةٍ وَعَتَاقَةٍ وَصَدَقَةٍ ، هَلْ لِى فِيهَا مِنْ أَجْرٍ . قَالَ حَكِيمٌ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَسْلَمْتَ عَلَى مَا سَلَفَ مِنْ خَيْرٍ »

“Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu mengenai berbagai perkara kebajikan yang aku lakukan di masa jahiliyah yaitu ada amalan silaturahim, membebaskan budak dan sedekah, apakah semua itu tetap dicatat sebagai kebaikan (ketika aku masuk Islam)?” Hakim kemudian mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau masuk Islam, maka kebaikanmu di masa silam pun akan dicatat sebagai kebaikan”. (HR. Bukhari no. 5992 dan Muslim no. 123).

Ibnu Hajar Al Asqolani berkata menjelaskan hadits di atas,

وَأَنَّهُ لَا مَانِعَ مِنْ أَنَّ اللَّهَ يُضِيفُ إِلَى حَسَنَاتِهِ فِي الْإِسْلَامِ ثَوَابَ مَا كَانَ صَدَرَ مِنْهُ فِي الْكُفْرِ تَفَضُّلًا وَإِحْسَانًا

“Suatu yang tidak mustahil jika Allah menambah kebaikannya di masa silam ketika dalam kekafiran pada kebaikannya setelah masuk Islam. Itu dilakukan karena karunia dan bentuk berbuat baik padanya.” (Fathul Bari, 3: 302).

Jangan Tunda Taubat!

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ

“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).” (QS. Az Zumar: 53-54).

Maksud ayat di atas adalah kembalilah pada Allah dengan berserah diri pada-Nya sebelum datang siksaan yang membuat mereka tidak mendapat pertolongan, yaitu maksudnya bersegeralah bertaubat dan melakukan amalan sholih sebelum terputusnya nikmat. Demikian uraian Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.

Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk terus bertaubat.

Referensi:
Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Shalih Ahmad Asy Syami, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, 1423 H.

Romadhon Durusun wa ‘Ibarun – Tarbiyatun wa Usrorun, Dr. Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, terbitan Dar Ibnu Khuzaimah, cetakan kedua, tahun 1424 H.

Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id.


Zulfarizan Zakaria "FABI AYYI AALA IRABBIKUMA TUKAZZHIBAN" = Nikmat Tuhan Manakah Yang Engkau Hendak Dustakan?........muhasabah buat diri kite ni belake kerana Allah S.W.T..... 

Perhatian: Pemaparan tajuk-tajuk, gambar-gambar dan segala bagai, adalah pandangan dan pendapat peribadi yang lebih menjurus kepada sikap dan sifat untuk menjadi lebih baik dengan mengamalkan gaya hidup menurut perentah dan larangan Allah S.W.T., antaranya bersikap dengan tiada prasangka, tidak bertujuan untuk kebencian, tidak berkeperluan untuk bersubahat dengan perkara bohong dan tiada kaitan dan berkepentingan dengan mana-mana individu. Jujur., aku hanyalah hamba Allah S.W.T., yang hina dina. BERSANGKA BAIK KERANA ALLAH S.W.T..

Tiada ulasan: